Jumat, 03 April 2009

PENGERTIAN SINEMATOGRAFI

Sinematografi adalah kata serapan dari bahasa Inggris Cinematography yang berasal dari
bahasa Latin kinema 'gambar'. Sinematografi sebagai ilmu terapan merupakan bidang ilmuyang membahas tentang teknik menangkap gambar dan menggabung-gabungkan gambar tersebut sehingga menjadi rangkaian gambar yang dapat menyampaikan ide (dapat mengemban cerita).

Sinematografi memiliki objek yang sama dengan fotografi yakni menangkap pantulan cahaya yang mengenai benda. Karena objeknya sama maka peralatannyapun mirip. Perbedaannya, peralatan fotografi menangkap gambar tunggal, sedangkan sinematografi menangkap rangkaian gambar. Penyampaian ide pada fotografi memanfaatkan gambar tunggal, sedangkan pada sinematografi memanfaatkan rangkaian gambar. Jadi sinematografi adalah gabungan antara fotografi dengan teknik perangkaian gambar atau dalam sinematografi disebut montase (montage).
Sinematografi sangat dekat dengan film dalam pengertian sebagai media penyimpan maupun sebagai genre seni. Film sebagai media penyimpan adalah pias (lembaran kecil) selluloid yakni sejenis bahan plastik tipis yang dilapisi zat peka cahaya. Benda inilah yang selalu digunakan sebagai media penyimpan di awal pertumbuhan sinematografi. Film sebagai genre seni adalah produk sinematografi.
Zemanta Pixie

dikirim pada hari Rabu, Juli 02, 2008 di label Sinematografi . untuk masuk kekotak komentar silahkan klik disini..!! blog ini mendukung "do follow". Setiap komentar yang anda berikan, akan dibalas dengan backlink dari sini. Langgan: Poskan Komentar (Atom) . SUMBER "http://209.85.175.132/search?q=cache:lrrWi2eNEpYJ:belajarnge.blogspot.com/2008/07/pengertian-sinematografi.html+penjelasan+tentang+sinematografi&cd=3&hl=id&ct=clnk&gl=id"


FILM
Karya Kompromistis Tiga Pilar

Selasa, 6 Nopember 2007
Film dalam perkembangannya sudah masuk sebagai sebuah industri. Karena itu, sudah sangat sulit untuk memastikan apakah film yang dianggap bagus bisa untuk penilaian skenarionya yang bagus atau sutradaranya yang bagus. Bisa jadi karya film itu menjadi bagus karena produsernya.

Dalam produksi sebuah film ada tiga pilar-istilah orang film, three engle-yang punya andil besar menentukan mutu akhir film, yaitu penulis skenario, sutradara, dan sang produser yang punya duit.

Memang masih ada bagian editing, music scoring, dan sinematografi. Tapi peran mereka ini kurang diketahui oleh masyarakat. Padahal, dari kalangan praktisi film digambarkan bahwa editing, music scoring, dan sinematografi sangat menentukan mutu sebuah film.

Dalam workshop Road to Festival Film Jakarta 2007 di Jakarta belum lama ini, praktisi film, yaitu penulis skenario, sutradara, aktor, penyunting, musik, dan sinematografi memaparkan bagaimana sebuah film itu dibuat, dan seberapa besar intervensi masing-masing orang dalam memproduksi film.

Prima Rusdi, Joko Anwar, dan Salman Aristo (penulis skenario), Dimas Jayadiningrat (sutradara), Sastha Sunu, dan Cesa David (penyunting), Thoersi Argeswara dan Aghi Narotama (musik), Aria Agni (sinematografi), dalam penjelasan mereka tergambar bagaimana sulitnya mengukur originalitas karya seseorang dalam produksi sebuah film.

Menurut mereka, dalam memproduksi film dikenal istilah three engle, yaitu tiga unsur dalam film (penulis skenario, sutradara, produser). Meskipun hasil akhir sebuah film sering dikatakan sebagai hasil kerja sutradara, dalam proses produksinya tidak demikian karena penulis dan produser ternyata juga berperan sampai film selesai dibuat.

Karena itu, Dimas yang lebih akrap dipanggil Djay tidak keberatan kalau sebuah film itu adalah karya kompromistis antara penulis, sutradara, dan produser. "Ini sebetulnya rahasia 'dapur' yang tidak perlu orang mengetahuinya," kata Djay.

Sebagai "penglima" dalam proses pembuatan sebuah film, sutradara akan berunding dengan penulis skenario untuk mengubah sebagian dari cerita dalam skenario.

Begitu pula, sang produser akan bertindak yang sama jika menurut hematnya sebagian dari suatu skenario harus diubah karena tidak memiliki nilai jual.

Produser akan mengubah (menambah atau mengurangi) sebuah adegan jika dipandang adegan tersebut tidak memiliki nilai jual. (Laurentius chen). sumber "http://209.85.175.132/search?q=cache:CXXwmSi3R_4J:www.suarakarya-online.com/news.html%3Fid%3D185780+penjelasan+tentang+sinematografi&cd=11&hl=id&ct=clnk&gl=id"


Category: Books
Genre: History
Author: Kuntowijoyo
MEMBERI RUANG BAGI HETEROGLOSSIA


Sejarawan adalah penulis sejarah. Titik.
(…)Tanggalkan anggapan bahwa hanya mereka
yang bekerja sebagai dosen universitas dan
institusi-instusi ilmiah berhak disebut sejarawan!

Kuntowijoyo (2003: xiii)


DUA PULUH tahun silam adalah momen perjumpaan pertama saya dengan sosok Kuntowijoyo. Saat itu, saya adalah mahasiswa Fisipol UGM semester ketiga. Momen itu tak pernah pupus dalam kenangan saya hingga kini. Bagaimana tidak. Saya diminta teman-teman untuk mengontak dan mengundang “Pak Kunto”-- begitu mahasiswa biasa menyapanya-- dalam sebuah diskusi mahasiswa. Dengan penuh keramahan beliau menerima saya dan bersedia memenuhi undangan diskusi itu. Tapi, yang mengesankan saya, apa yang dikatakannya di akhir pertemuan itu: “Saya akan menulis makalah.” Kesediaan menerima undangan saja sudah sangat melegakan saya. Apalagi, kerelaan menulis makalah untuk sebuah diskusi “sekelas mahasiswa.” Bagi saya, sosok Kuntowijoyo tak hanya eksemplar terbaik kerendahan hati dan keterbukaan seorang intelektual. Tapi, ia sekaligus sosok ilmuwan yang dengan tekun menuliskan gagasan-gagasannya.

Maka, tak aneh, jika ia sedikit dari ilmuwan Indonesia yang memiliki produktivas menggetarkan. Dari tangan Kuntowijoyo mengalir deras beragam oeuvres mulai dari puisi, naskah drama, cerpen, novel hingga buku daras (teks). Buku Penjelasan Sejarah (2008) yang merupakan karya pamungkas Kuntowijoyo menggenapi karyanya tentang teori dan metodologi sejarah. Jauh sebelumnya, Kuntowijoyo telah menerbitkan Pengantar Ilmu Sejarah (1995) dan Metodologi Sejarah (2003). Yang menarik, buku pamungkas itu memuat tak kurang 60 (enam puluh) ulasan (review) terhadap karya sejarawan, baik dari dalam maupun luar Indonesia. Karya yang berbicara dalam konteks Indonesia mempunyai tempat yang lebih luas ketimbang karya dari luar Indonesia. Sementara, tahun publikasi karya-karya yang diulas Kuntowijoyo merentang cukup jauh mulai dari tahun 1966 (karya klasik sejarawan Sartono Kartodirdjo Peasant’s Revolt of Banten in 1888) hingga 2004 (karya Kuntowijoyo Raja, Priyayi dan Kawula).

Di tengah keragaman tematik dari buku yang diulas Kuntowijoyo, apa boleh buat, pembaca hanya menemui satu karya yang bertautan dengan sejarah perempuan. Karya ini pun tidak ditulis oleh sejarawan perempuan. Begitu pula, sejarah lingkungan (ekologi) hanya bisa ditemui dalam karya Clifford Geertz dan karya Kuntowijoyo. Apalagi, tema-tema kontemporer nyaris sulit dikais dalam karya yang diulas, antara lain: sejarah mikro, sejarah budaya popular, sejarah visual, sejarah tubuh, sejarah emosi dan seterusnya. Selebihnya, sebagaimana gampang diduga, adalah tema-tema yang terhitung klasik, seperti: sejarah sosial (lokal), sejarah politik, sejarah perkotaan, sejarah pedesaan dan seterusnya.

* * * * *

Penjelasan sejarah, seperti ditakrifkan Kuntowijoyo, berkaitan dengan proses “menafsirkan dan mengerti,” “penjelasan tentang waktu yang memanjang” dan “penjelasan peristiwa tunggal” (hal.10). Istilah “penjelasan” dipilih ketimbang “analisa” karena, menurut Kuntowijoyo, dianggap “memadai untuk menerangkan gejala sejarah” (hal5). Ini agaknya sejalan dengan gagasan filosofis Wilhelm Dilthey, yang disitir Kuntowijoyo, bahwa manusia adalah makhluk yang menyejarah, karenanya hanya dapat jelaskan melalui sejarahnya. Maka, penjelasan sejarah lebih bertautan dengan upaya menyelami makna yang ada pada pelaku sejarah. Kuntowijoyo lantas mengupas penjelasan sejarah itu yang bertautan dengan pelbagai persoalan: periodisasi (bab 2), kausalitas sejarah (bab 3), analisis struktural (bab 4), konsep paralelisme dalam sejarah (bab 5), generalisasi sejarah (bab 6), rapproachment antara sejarah dan teori sosial (bab 7), kuantifikasi (bab 8) dan narasi (bab 9).

Jika ditilik dari sejumlah karya yang diulas Kuntowijoyo, segera tampak bahwa penjelasan sejarah yang bertautan dengan persoalan kausalitas cukup mendominasi. Setidaknya ada 11 (sebelas) karya yang diulas bertautan dengan kausalitas itu. Tentu saja, ini tidak bisa dilepaskan dari kecenderungan penulisan sejarah konvensional yang cenderung bersifat teleologis dan berusaha menggali penyebab mengapa peristiwa sejarah terjadi, baik karena musabab yang bersifat tunggal maupun jamak. Di sisi lain, penjelasan sejarah yang bersifat struktural juga cukup dominan. Ini, boleh jadi, karena keterbatasan dalam penjelajahan terhadap sumber, tapi di sisi lain barangkali menunjukkan kecenderungan umum dalam penulisan sejarah selama ini.

Harus diakui, tatkala sejarah merambah bidang yang kian luas, sejarawan kian dihadapkan pada problema pelik mengingat perkembangan kultural dan sosial tak bisa disamakan dengan peristiwa politik. Ini menuntut penjelasan yang kian bersifat struktural. Akibatnya, kalangan sejarawan, suka tidak suka, berhadapan dengan pertanyaan yang telah lama digumuli oleh para ilmuwan sosial: Siapakah agen yang sesungguhnya dalam sejarah, individu-individu atau kolektivitas? Mampukah mereka mengelak dari (atau bahkan melawan) tekanan dari struktur sosial, politik dan kultural? Apakah struktur-struktur itu sekadar menjadi perintang bagi kebebasan melakukan tindakan atau justru memberi para agen lebih banyak pilihan?

Dalam dekade 1950-an dan 1960-an para sejarawan sosial dan ekonomi bergulat merumuskan model penjelasan sejarah yang bersifat deterministik. Model itu merentang mulai dari determinisme ekonomistik (aliran Marxis), determinisme geografi (Braudel) hingga determinisme populasi (perubahan sosial ala Malthusian). Akan tetapi, model penjelasan yang terasa paling atraktif adalah yang cukup memberi ruang bagi kebebasan orang kebanyakan. Dengan kata lain, sejarawan kian dituntut lebih terbuka terhadap pelbagai penjelasan, eksperimen, fakta tandingan dan memiliki imajinasi skenario alternatif tentang masalah yang dikajinya.

Barangkali contoh terbaik tentang pertengkaran di kalangan sejarawan adalah kasus Hitler (pendiri dan pemimpin Partai Nazi, Jerman). Di satu kutub, seorang sejarawan bernama Robert Waite menawarkan penjelasan yang menganggap Hitler itu memiliki tujuan-tujuan yang tak sadar dan mengidap sejenis psikopatologi , menekankan seksualitasnya yang abnormal serta trauma karena ibunya meninggal ketika ditangani dokter Yahudi. Di kutub lainnya, bagi kalangan yang menganut mahzab “fungsionalis” (atau dalam istilah Peter Burke “sejarawan struktural”), penjelasannya tentang Hitler mesti dicari pada siapa saja orang-orang di sekitar Hitler, birokrasi pemerintah, proses pengambilan keputusan, dan ideologi Nazisme sebagai bentuk gerakan sosial (Burke, 2001a: 16).

Tak urung, sejarawan seperti menemui buah simalakama. Jika mereka menjelaskan perbedaan perilaku sosial dalam periode yang berbeda lewat perbedaan sikap atau konvensi-konvensi sosialnya, maka mudah terjatuh menjadi penjelasan yang dangkal. Di sisi lain, jika mereka menjelaskan perbedaan perilaku itu lewat “struktur dalam” (deep structure) dari watak masyarakatnya, maka mereka telah mengabaikan kebebasan dan fleksibilitas para pelaku sejarah.

Di tengah kebuntuan itu, agaknya menarik menimbang konsep“habitus” dalam kelompok sosial tertentu yang dipopularkan oleh sosiolog Perancis Pierre Bourdieu (1977). Maksudnya, keleluasaan dari anggota kelompok sosial untuk merespon repertoar budaya tertentu berdasarkan tuntutan situasi atau “medan” (field) tertentu. Berbeda dengan konsep aturan (rule), habitus memiliki kelebihan karena memungkinkan mereka yang memakai konsep itu mengakui derajat kebebasan individu dalam seperangkat batasan-batasan budaya.

Sementara itu, pendekatan (rapproachment) antara sejarah dan teori-teori sosial bukanlah perkara yang mudah. Apalagi, kini kian terasa betapa disiplin keilmuan mengalami fragmentasi yang dahsyat. Tak aneh, jika para ilmuwan bak tenggelam dalam disiplin yang kian sempit dan kurang bertegur sapa. Memang, harus diakui, proliferasi disiplin ilmu bisa mendorong pencarian metode yang lebih ketat (rigorous) serta standar-standar yang lebih profesional. Upaya mempertemukan sejarah dengan pelbagai teori sosial mestinya mendorong pada impian sejarawan Fernand Braudel tentang “sejarah total” (total history). Misalnya, sejarawan perempuan perlu meluaskan cakupan risetnya meliputi relasi gender pada umumnya dan konstruksi historis terhadap maskulinitas dan feminitas. Karenanya, pertentangan lama antara “peristiwa” dan “struktur” sejarah harus mulai digantikan oleh interrelasi dan eksperimentasi bentuk-bentuk naratif dalam analisa maupun bentuk-bentuk analitis dalam narasi (Burke, 2001a: 18).

Kuntowijoyo agaknya memberikan catatan khusus terhadap karya sejarawan Perancis Dennys Lombard Nusa Jawa: Persilangan Budaya. Berbeda dengan Sartono Kartodirdjo yang menganggap karya Lombard sebagai social scientific, Kuntowijoya justru menyebutnya bergaya novelistic. Menurut saya, pencandraan yang dilakukan Kuntowijoyo ini tak hanya menarik, tapi juga penting diungkai lebih jauh. Ini karena adanya kecenderungan revivalisasi narasi dalam penulisan sejarah. Memang, harus diakui, narasi menandai gaya awal perkembangan penulisan sejarah yang pernah didera kritik tajam dari kalangan penganut pendekatan struktural.

Dalam perjalanannya kemudian, gaya penulisan naratif itu banyak dipengaruhi oleh sastra bahkan sinema. Ini juga dinyatakan Kuntowijoyo, “Sejarawan itu mirip sutradara drama, sebab sejarah memiliki elemen epis-dramatis” (hal.16). Jonathan Spence (seperti disitir Burke 2001b: 297), umpamanya, mengenalkan bahasa “montage” (teknik penyuntingan dalam sinema yang dikenalkan oleh Sergei Eisenstein), sementara Robert Rosenstone (1997) menggunakan frasa “close-up” (teknik pengambilan gambar dalam film terhadap objek dari jarak dekat) seraya menyitir sutradara Perancis Jean Luc Godard tentang efek dari pengisahan yang tak harus bersifat kronologis. Kilas balik (flashback), penyuntingan yang terputus-putus (cross-cuting) dan pembelokan kisah merupakan teknik sinematografi (juga sastra)-- kendati sekilas tampak digunakan secara permukaan dan hanya sekadar menjadi daya pikat cerita-- sesungguhnya bisa membantu sejarawan untuk menyingkap relasi antara peristiwa dan struktur serta menyajikan pandangan yang saling berlawanan di antara para pelaku (aktor) sejarah.

Di sisi lain, Rosenstone lebih jauh menekankan peran film dalam membangkitkan kesadaran sejarah terutama di era pasca-literasi (postliterate age) di mana kebanyakan orang mampu membaca tapi emoh melakukannya. Kemampuan film merefleksikan sejarah dicontohkan Rosenstone dalam sejumlah film Amerika, antara lain: Rocky (persoalan pekerja kerah biru), The Invasion of Body Snatchers (konspirasi dan konformitas di era 1950-an), Viva Zapata (perang dingin) dan Drums along the Mowhawk (bertahannya nilai-nilai Keamerikaan). Selama ini, menurut Rosenstone, kalangan sejarawan menggunakan dokumen tertulis untuk mengritik sejarah visual. Seakan-akan dokumen tertulis itu tidak problematik ketimbang yang bersifat visual. Padahal, bukankah film juga membabar fakta dan mendedahkan argumen seperti halnya dokumen tertulis?

Perspektif poskolonialisme (yang sayangnya tak disinggung dalam ulasan Kuntowijoyo di buku Penjelasan Sejarah ini) sejatinya teramat sayang luput dari perdebatan penjelasan sejarah. Ini karena sesungguhnya kemunculan sejarah dalam pemikiran Eropa tak bisa diceraikan dari kolonialisme modern yang ditandai oleh radical othering terhadap bangsa-bangsa non-Eropa serta aneksasi yang brutal terhadap wilayah-wilayah di luar Eropa. Sebagaimana dinyatakan oleh Robert Young (1990), apa yang disebut “Sejarah” (dengan huruf “S” besar) adalah angin surga pengetahuan Barat yang berwatak Eropa-sentris serta praktik yang dengan dingin menggelontor “konsep, otoritas dan asumsi keunggulan dari kategori yang disebut Barat.” Ini senafas dengan gugatan yang dilontarkan Michel Foucault (1970): Apa artinya memiliki sejarah? Pertanyaan ini rupanya menandai pergeseran kesadaran (manusia) Barat, yang bertautan dengan gagasan modernitas, bahwa (manusia) Barat berbeda dengan pelbagai jenis manusia lainnya yang ada dalam sejarah.

Meski demikian, Dipesh Chakravarty (1997) menyatakan pentingnya sejarah poskolonial atau projek “provincializing Europe” lewat pencarĂ­an bentuk-bentuk narasi yang “secara sengaja menyingkap dengan jelas struktur narasi beserta strategi-strategi dan praktik-praktik represifnya“ ketimbang kembali pada sejarah yang atavistik dan nativistik sembari menampik modernisme. Dalam tarikan nafas yang sama, Gayatri Chakravorty Spivak (1999) menyatakan perlunya menyebut “Eropa sebagai Sang Liyan” (Europe as an Other) di mana kritik terhadap imperialisme akan memulihkan martabat diri (self) pada masyarakat jajahan sehingga Eropa bisa ditempatkan sebagai sang liyan sebagaimana pada masa-masa sebelumnya.

* * * * *

Apa pun soalnya, Kuntowijoyo rupanya pengusung aliran “sejarah itu ilmu yang terbuka.” Penulisan sejarah bukanlah monopoli kaum sejarawan akademis. Ketika me-review karya Parakitri T Simbolon yang bertajuk Menjadi Indonesia, Jilid I (1995), ia menyebut buku itu sebagai bukti “ilmu sejarah itu terbuka, tidak ditulis oleh sejarawan ‘berijasah ‘ (hal.33). Inilah agaknya aspirasi yang tak letih terus disuarakan Kuntowijoyo sebagaimana pendapatnya yang dinukil pada awal tulisan ini. Karena itu, sejarah harus terus-menerus memberi ruang yang lapang bagi beragam pendekatan dan kalangan. Justru inilah yang bakal memperkaya penulisan dan penjelasan sejarah. Laiknya seorang novelis, sejarawan perlu memberi tempat seluas-luasnya pada “suara-suara yang beragam dan saling berlawanan” dari mereka yang telah tiada agar kembali terdengar dengan jelas. Karena itu, sejarawan mesti mempraktikkan sebentuk heteroglossia.

Meski demikian, penulisan sejarah (termasuk sejarawan) bukan tanpa tanggung jawab etis. Sejarawan justru memiliki tempat yang penting, terutama dalam masyarakat yang tengah mengalami perubahan. Sebagaimana dinyatakan Kuntowijoyo, “Dengan menggali mitos-mitos kolektif yang rasional dan ilmiah, sejarawan mempunyai fungsi sosial yang penting. Pembentukan collective intelligence dan critical mass akan merupakan sumbangan penting sejarawan untuk bangsa ini” (hal.51). Ini selaras dengan gagasan yang senantiasa digemakan oleh Kuntowijoyo (2006) ihwal “ilmu sosial profetik.” Menurutnya, ilmu-ilmu sosial profetik “tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga memberikan petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa” (hal.87). Karena itu, ilmu-ilmu sosial profetik dilambari tiga nilai utama: humanisasi (emansipasi), liberasi dan transendensi. Di sinilah, para sejarawan memanggul amanah untuk, meminjam kata-kata Hobsbawn (1997: 47) “menunjukkan distorsi sistematis terhadap sejarah untuk melayani tujuan-tujuan yang irrasional”. Sehingga masyarakat beroleh pelajaran berharga dari peristiwa di masa lalu, meski kadangkala mereka terlihat enggan belajar dari sejarah.

Pada akhirnya, apa yang pernah didengungkan oleh kalangan posmodernis tentang “kematian sejarah” (Jenkins, 1997) sepatutnya dipahami sebagai tantangan terhadap sejarawan dan relevansi penulisan sejarah. Dengan kata lain, kalangan sejarawan dituntut mampu mengubah tantangan itu menjadi kesempatan menimbang ulang hakikat penelitian sejarah dan meningkatkan praktik-praktik historiografi. Yang harus dilakukan oleh para sejarawan bukanlah sekadar mengikuti langgam intelektual yang tengah marak seperti halnya “posmodernisme” atau “dekonstruksi.” Melainkan, sejarawan mesti mengembangkan strategi baru dalam riset dan terus memperbarui metodologi, ketajaman analisanya serta sensibilitasnya mencandra persoalan-persoalan sosial. Hanya dengan demikian, maka harapan Kuntowijoyo agar sejarawan memiliki sumbangsih yang penting bagi bangsa ini bakal terwujud dan gagasannya tentang ilmu sosial profetik kian memiliki banyak kaki. Kuntowijoyo telah meninggalkan kita sejumlah pekerjaan rumah. Dan karya-karyanya— lebih dari sekadar teladan-- telah berbicara dengan caranya sendiri pada kita semua.

* * * * *
Daftar Bacaan
Bourdieu, Pierre. (1977). Outline Theory of Practice. Cambridge: Cambridge University Press.
Burke, Peter. (2001a). “Overture. The New History: Its Past and Future.” Dalam Peter Burke, (ed.), New Perspsectives on Historical Writing. London: Blackwell. Hal.1-24.
Burke, Peter. (2001b). “ History of Events and the Revival of Narrative.” Dalam Peter Burke, (ed.), New Perspsectives on Historical Writing. London: Blackwell. Hal.283-300.
Chakrabarty, Dipesh. (1997). “Poscoloniality and the Artifice of History.” Dalam Bill Aschroff, Gareth Griffiths & Helen Tiffin (Eds.), The Post-Colonial Studies Reader. London & New York: Routledge. Hal. 383-388.
Foucault, Michel. (1970). The Order of Things. London: Tavistock.
Hobsbawn. Eric. (1999). On History. London: Abacus.
Jenkins, Keith. (Ed.). (1997). Postmodern History Reader. London & New York: Routledge.
Kuntowijoyo. (1995). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.
Kuntowijoyo. (2003). Metodologi Sejarah. Edisi kedua. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kuntowijoyo. (2006). Islam Sebagai Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kuntowijoyo. (2008). Penjelasan Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Rosenstone, Robert R. (1995). Visions of the Past: The Challenge of Film to Our Idea of History. Cambridge: Havard University Press.
Spivak, Gayatri Chakravorty. (1999). A Critique of Postcolonial Reason: Toward a History of the Vanishing Present. Cambridge: Havard University Press.
Young, Robert. (1990). White Mythologies: Writing History and the West. London & New York: Routledge.

*) Makalah yang disampaikan dalam Peluncuran dan Diskusi Buku 'Penjelasan Sejarah" yang diselenggarakan oleh oleh Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 22 Februari 2008.
Tags: ulasan buku
Next: Dalam Sebotol Coklat Cair (Koekoesan: Jakarta, 2008). sumber "http://209.85.175.132/search?q=cache:EcrTSon66oQJ:budiirawanto.multiply.com/reviews/item/1+penjelasan+tentang+sinematografi&cd=12&hl=id&ct=clnk&gl=id"

TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI
No. 4220 KEHAKIMAN. Hukum. Hak Cipta. Perdagangan. Industri. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 85)

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2002
TENTANG
HAK CIPTA

UMUM

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang sangat kaya. Hal itu sejalan dengan keanekaragaman etnik, suku bangsa, dan agama yang secara keseluruhan merupakan potensi nasional yang perlu dilindungi. Kekayaan seni dan budaya itu merupakan salah satu sumber dari karya intelektual yang dapat dan perlu dilindungi oleh undang-undang. Kekayaan itu tidak semata-mata untuk seni dan budaya itu sendiri, tetapi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan di bidang perdagangan dan industri yang melibatkan para Penciptanya. Dengan demikian, kekayaan seni dan budaya yang dilindungi itu dapat meningkatkan kesejahteraan tidak hanya bagi para Penciptanya saja, tetapi juga bagi bangsa dan negara.

Indonesia telah ikut serta dalam pergaulan masyarakat dunia dengan menjadi anggota dalam Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual), selanjutnya disebut TRIPs, melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Selain itu, Indonesia juga meratifikasi Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works (Konvensi Berne tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra) melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan World Intellectual Property Orgainization Copyrights Treaty (Perjanjian Hak Cipta WIPO), selanjutnya disebut WCT, melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.

Saat ini Indonesia telah memiliki Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 dan terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 yang selanjutnya disebut Undang-undang Hak Cipta. Walaupun perubahan itu telah memuat beberapa penyesuaian pasal yang sesuai dengan TRlPs, namun masih terdapat beberapa hal yang perlu disempurnakan untuk memberi perlindungan bagi karya-karya intelektual di bidang Hak Cipta, termasuk upaya untuk memajukan perkembangan karya intelektual yang berasal dari keanekaragaman seni dan budaya tersebut di atas. Dari beberapa konvensi di bidang Hak Kekayaan Intelektual yang disebut di atas, masih terdapat beberapa ketentuan yang sudah sepatutnya dimanfaatkan. Selain itu, kita perlu menegaskan dan memilah kedudukan Hak Cipta di satu pihak dan Hak Terkait di lain pihak dalam rangka memberikan perlindungan bagi karya intelektual yang bersangkutan secara lebih jelas.

Dengan memperhatikan hal-hal di atas dipandang perlu untuk mengganti Undang-undang Hak Cipta dengan yang baru. Hal itu disadari karena kekayaan seni dan budaya, serta pengembangan kemampuan intelektual masyarakat Indonesia memerlukan perlindungan hukum yang memadai agar terdapat iklim persaingan usaha yang sehat yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan nasional.

Hak Cipta terdiri atas hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights). Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan serta produk Hak Terkait. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri Pencipta atau Pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa pun, walaupun Hak Cipta atau Hak Terkait telah dialihkan.

Perlindungan Hak Cipta tidak diberikan kepada ide atau gagasan karena karya cipta harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian sebagai Ciptaan yang lahir berdasarkan kemampuan, kreativitas, atau keahilan sehingga Ciptaan itu dapat dilihat, dibaca, atau didengar.

Undang-undang ini memuat beberapa ketentuan baru, antara lain, mengenai :

1. database merupakan salah satu Ciptaan yang dilindungi;
2. penggunaan alat apa pun baik melalui kabel maupun tanpa kabel, termasuk media internet, untuk pemutaran produk-produk cakram optik (optical disc) melalui media audio, media audio visual dan atau sarana telekomunikasi;
3. penyelesaian sengketa oleh Pengadilan Niaga, arbitrase, atau alternatif penyelesaian sengketa;
4. penetapan sementara pengadilan untuk mencegah kerugian lebih besar bagi Pemegang hak:
5. batas waktu proses perkara perdata di bidang Hak Cipta dan Hak Terkait, baik di Pengadilan Niaga maupun di Mahkamah Agung;
6. pencantuman hak informasi manajemen elektronik dan sarana kontrol teknologi;
7. pencantuman mekanisme pengawasan dan perlindungan terhadap produk-produk yang menggunakan sarana produksi berteknologi tinggi;
8. ancaman pidana atas pelanggaran Hak Terkait;
9. ancaman pidana dan denda minimal;
10. ancaman pidana terhadap perbanyakan penggunaan Program Komputer untuk kepentingan komersial secara tidak sah dan melawan hukum.


PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Ayat (l)

Yang dimaksud dengan hak eksklusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut taripa izin pemegangnya.

Dalam pengertian "mengumumkan atau memperbanyak", termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan Ciptaan kepada publik melalui sarana apa pun

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 3

Ayat(l)
Cukup jelas

Ayat (2)

Beralih atau dialihkannya Hak Cipta tidak dapat dilakukan secara lisan, tetapi harus dilakukan secara tertulis baik dengan maupun tanpa akta notariil.

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e

Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, misalnya pengalihan yang disebabkan oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 4

Ayat(l)

Karena manunggal dengan Penciptanya dan bersifat tidak berwujud, Hak Cipta pada prinsipnya tidak dapat disita, kecuali Hak Cipta tersebut diperoleh secara melawan hukum.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 5

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Pada prinsipnya Hak Cipta diperoleh bukan karena pendaftaran, tetapi dalam hal terjadi sengketa di pengadilan mengenai Ciptaan yang terdaftar dan yang tidak terdaftar sebagaimana dimaksud pada ketentuan ayat (1) huruf a dan huruf b serta apabila pihak-pihak yang berkepentingan dapat membuktikan kebenarannya, hakim dapat menentukan Pencipta yang sebenarnya berdasarkan pembuktian tersebut.

Pasal 6

Yang dimaksud dengan bagian tersendiri, misalnya suatu Ciptaan berupa film serial, yang isi setiap seri dapat lepas dari isi seri yang lain, demikian juga dengan buku, yang untuk isi setiap bagian dapat dipisahkan dari isi bagian yang lain.

Pasal 7

Rancangan yang dimaksud adalah gagasan berupa gambar atau kata atau gabungan keduanya, yang akan diwujudkan dalam bentuk yang dikehendaki pemilik rancangan. Oleh karena itu, perancang disebut Pencipta, apabila rancangannya itu dikerjakan secara detail menurut desain yang sudah ditentukannya dan tidak sekadar gagasan atau ide saja. Yang dimaksud dengan di bawah pimpinan dan pengawasan adalah yang dilakukan dengan bimbingan, pengarahan, ataupun koreksi dari orang yang memiliki rancangan tersebut.

Pasal 8

Ayat(1)

Yang dimaksud dengan hubungan dinas adalah hubungan kepegawaian antara pegawai negeri dengan instansinya.

Ayat (2)

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Hak Cipta yang dibuat oleh seseorang berdasarkan pesanan dari instansi Pemerintah tetap dipegang oleh instansi Pemerintah tersebut selaku pemesan. kecuali diperjanjikan lain.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan hubungan kerja atau berdasarkan pesanan di sini adalah Ciptaan yang dibuat atas dasar hubungan kerja di lembaga swasta atau atas dasar pesanan pihak lain.

Pasal 9

Cukup jelas

Pasal 10

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Dalam rangka melindungi folklor dan hasil kebudayaan rakyat lain, Pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa seizin negara Republik Indonesia sebagai Pemegang Hak Cipta. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut.

Folklor dimaksudkan sebagai sekumpulan Ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun, termasuk :

1. cerita rakyat, puisi rakyat;
2. lagu-Iagu rakyat dan musik instrumen tradisional;
3. tari-tarian rakyat, permainan tradisional;
4. hasil seni antara lain berupa: lukisan, gambar, ukiran-ukiran, pahatan, mosaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrumen musik dan tenun tradisional.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 11

Ayat (1)

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan status Hak Cipta dalam hal suatu karya yang Penciptanya tidak diketahui dan tidak atau belum diterbitkan, sebagaimana layaknya Ciptaan itu diwujudkan. misalnya, dalam hal karya tulis atau karya musik, Ciptaan tersebut belum diterbitkan dalam bentuk buku atau belum direkam. Dalam hal demikian, Hak Cipta atas karya tersebut dipegang oleh Negara untuk melindungi Hak Cipta bagi kepentingan Penciptanya. sedangkan apabila karya tersebut berupa karya tulis dan telah diterbitkan, Hak Cipta atas Ciptaan yang bersangkutan dipesane oleh Penerbit.

Ayat (2)

Penerbit dianggap Pemegang Hak Cipta atas Ciptaan yang diterbitkan dengan menggunakan nama samaran Penciptanya. Dengan demikian, suatu Ciptaan yang diterbitkan tetapi tidak diketahui siapa Penciptanya atau terhadap Ciptaan yang hanya tertera nama samaran Penciptanya, Penerbit yang namanya tertera di dalam Ciptaan dan dapat membuktikan sebagai Penerbit yang pertama kali menerbitkan Ciptaan tersebut dianggap sebagai Pemegang Hak Cipta. Hal ini tidak berlaku apabila Pencipta di kemudian hari menyatakan identitasnya dan ia dapat membuktikan bahwa Ciptaan tersebut adalah Ciptaannya.

Ayat (3)

Penerbit dianggap Pemegang Hak Cipta atas Ciptaan yang telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya atau pada Ciptaan tersebut hanya tertera nama samaran Penciptanya. Penerbit yang pertama kali menerbitkan Ciptaan tersebut dianggap mewakili Pencipta. Hal ini tidak berlaku apabila Pencipta dikemudian hari menyatakan identitasnya dan ia dapat membuktikan bahwa Cipiaan tersebut adalah Ciptaannya.

Ayat(1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan perwajahan karya tulis adalah karya cipta yang lazim dikenal dengan "typholographical Arrangement" yaitu aspek seni pada susunan dan bentuk penulisan karya tulis. Hal ini mencakup antara lain format, hiasan, warna dan susunan atau tata letak huruf indah yang secara keseluruhan menampilkan wujud yang khas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan Ciptaan lain yang sejenis adalah Ciptaan-ciptaan yang belum disebutkan, tetapi dapat disamakan dengan Ciptaan-ciptaan seperti ceramah, kuliah. dan pidato.

Huruf c

Yang dimaksud dengan alat peraga adalah Ciptaan yang berbentuk dua ataupun tiga dimensi yang berkaitan dengan geografi, topografi, arsitektur, biologi atau ilmu pengetahuan lain.

Huruf d

Lagu atau musik dalam Undang-undang ini diartikan sebagai karya yang bersifat utuh, sekalipun terdiri atas unsur lagu atau melodi, syair atau lirik, dan aransemennya termasuk notasi.

Yang dimaksud dengan utuh adalah bahwa lagu atau musik tersebut merupakan satu kesatuan karya cipta.

Huruf e
Cukup jelas

Huruf f

Yang dimaksud dengan gambar antara lain meliputi: motif, diagram, sketsa, logo dan bentuk huruf indah, dan gambar tersebut dibuat bukan untuk tujuan desain industri.

Yang dimaksud dengan kolase adalah komposisi artistik yang dibuat dari berbagai bahan (misalnya dari kain, kertas, kayu) yang ditempelkan pada permukaan gambar.

Seni terapan yang berupa kerajinan tangan sejauh tujuan pembuatannya bukan untuk diproduksi secara massal merupakan suatu Ciptaan.

Huruf g

Yang dimaksud dengan arsitektur antara lain meliputi: seni gambar bangunan, seni gambar miniatur, dan seni gambar maket bangunan.

Huruf h

Yang dimaksud dengan peta adalah suatu gambaran dari unsur-unsur alam dan atau buatan manusia yang berada di atas ataupun di bawah permukaan bumi yang digambarkan pada suatu bidang datar dengan skala tertentu.

Huruf i

Batik yang dibuat secara konvensional dilindungi dalam Undang-undang ini sebagai bentuk Ciptaan tersendiri. Karya-karya seperti itu memperoleh perlindungan karena mempunyai nilai seni, baik pada Ciptaan motif atau gambar maupun komposisi warnanya. Disamakan dengan pengertian seni batik adalah karya tradisional lainnya yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang terdapat di berbagai daerah, seperti seni songket, ikat, dan lain-lain yang dewasa ini terus dikembangkan.

Huruf j
Cukup jelas

Huruf k

Karya sinematografi yang merupakan media komunikasi massa gambar gerak (moving images) antara lain meliputi: film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, di layar lebar atau ditayangkan di televisi atau di media lainnya. Karya serupa itu dibuat oleh perusahaan pembuat film, stasiun televisi atau perorangan.

Huruf l

Yang dimaksud dengan bunga rampai meliputi: Ciptaan dalam bentuk buku yang berisi kumpulan karya tulis pilihan, himpunan lagu-lagu pilihan yang direkam dalam satu kaset, cakram optik atau media lain, serta komposisi berbagai karya tari pilihan.

Yang dimaksud dengan database adalah kompilasi data dalam bentuk apapun yang dapat dibaca oleh mesin (komputer) atau dalam bentuk lain, yang karena alasan pemilihan atau pengaturan atas isi data itu merupakan kreasi intelektual. Perlindungan terhadap database diberikan dengan tidak mengurangi hak Pencipta lain yang Ciptaannya dimasukkan dalam database tersebut.

Yang dimaksud dengan pengalihwujudan adalah pengubahan bentuk, misalnya dari bentuk patung menjadi tukisan, cerita roman menjadi drama, drama menjadi sandiwara radio, dan novel menjadi film.

Ayat(2)
Cukup jelas

Ayat(3)

Ciptaan yang belum diumumkan, sebagai contoh sketsa, manuskrip, cetak biru (blue print), dan yang sejenisnya dianggap Ciptaan yang sudah merupakan suatu kesatuan yang lengkap.

Pasal 13

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e

Yang dimaksud dengan keputusan badan-badan sejenis lain, misalnya keputusan-keputusan yang memutuskan suatu sengketa, termasuk keputusa-keputusa Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, dan Mahkamah Pelayaran.

Pasal 14

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b

Contoh dari Pengumuman dan Perbanyakan atas nama Pemerintah adalah Pengumuman dan Perbanyakan mengenai suatu hasil riset yang dilakukan dengan biaya Negara.

Huruf c

Yang dimaksud dengan berita aktual adalah berita yang diumumkan dalam waktu 1 x 24 jam sejak pertama kali diumumkan.

Pasal 15

Huruf a

Pembatasan ini perlu dilakukan karena ukuran kuantitatif untuk menentukan pelanggaran Hak Cipta sulit diterapkan. Dalam hal ini akan lebih tepat apabila penentuan pelanggaran Hak Cipta didasarkan pada ukuran kualitatif. Misalnya, pengambilan bagian yang paling substansial dan khas yang menjadi ciri dari Ciptaan, meskipun pemakaian itu kurang dari 10%. Pemakaian seperti itu secara substantif merupakan pelanggaran Hak Cipta. Pemakaian Ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta apabila sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial. Misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Penciptanya. Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan Ciptaan untuk pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus untuk pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber Ciptaan yang dikutip harus dilakukan secara lengkap. Artinya. dengan mencantumkan sekurang-kurangnya nama Pencipta, judul atau nama Ciptaan, dan nama Penerbit jika ada.

Yang dimaksud dengan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta adalah suatu kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu Ciptaan.

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Huruf f
Cukup jelas

Huruf g

Seorang pemilik (bukan Pemegang Hak Cipta) Program Komputer dibolehkan membuat salinan atas Program Komputer yang dimilikinya, untuk dijadikan cadangan semata-mata untuk digunakan sendiri. Pembuatan salinan cadangan seperti di atas tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta.

Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah beredarnya Ciptaan yang apabila diumumkan dapat merendahkan nilai-nilai keagamaan, ataupun menimbulkan masalah kesukuan atau ras, dapat menimbulkan gangguan atau bahaya terhadap pertahanan keamanan negara, bertentangan dengan norma kesusilaan umum yang berlaku dalam masyarakat, dan ketertiban umum. Misalnya, buku-buku atau karya-karya sastra atau karya-karya fotografi.

Pasal 18

Ayat (l)

Maksud ketentuan ini adalah Pengumuman suatu Ciptaan melalui penyiaran radio, televisi dan sarana lainnya yang diselenggarakan oleh Pemerintah haruslah diutamakan untuk kepentingan publik yang secara nyata dibutuhkan oleh masyarakat umum.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 19

Ayat (1)

Tidak selalu orang yang dipotret akan setuju bahwa potretnya diumumkan tanpa diminta persetujuannya. Oleh karena itu ditentukan bahwa harus dimintakan persetujuan yang bersangkutan atau ahli warisnya.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 20

Dalam suatu pemotretan dapat terjadi bahwa seseorang telah dipotret tanpa diketahuinya dalam keadaan yang dapat merugikan dirinya.

Pasal 201

Misalnya, seorang penyanyi dalam suatu pertunjukan musik dapat berkeberatan jika diambil potretnya untuk diumumkan.

Pasal 22

Cukup jelas

Pasal 23

Cukup jelas

Pasal 24

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Dengan hak moral, Pencinta dari suatu karya cipta memiliki hak untuk :

1. dicantumkan nama atau nama samarannya di dalam Ciptaannya ataupun salinannya dalam hubungan dengan penggunaan secara umum;
2. mencegah bentuk-bentuk distorsi, mutilasi atau bentuk perubahan lainnya yang meliputi pemutarbalikan, pemotongan, perusakan, penggantian yang berhubungan dengan karya cipta yang pada akhirnya akan merusak apresiasi dan reputasi Pencipta;
3. Selain itu tidak satupun dari hak-hak tersebut di atas dapat dipindahkan selama Penciptanya masih hidup, kecuali atas wasiat Pencipta berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 25

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan informasi manajemen hak Pencipta adalah informasi yang melekat secara elektronik pada suatu Ciptaan atau muncul dalam hubungan dengan kegiatan Pengumuman yang menerangkan tentang suatu Ciptaan, Pencipta, dan kepemilikan hak maupun informasi persyaratan penggunaan, nomor atau kode informasi. Siapa pun dilarang mendistribusikan, mengimpor, menyiarkan, mengkomunikasikan kepada publik karya-karya pertunjukan, rekaman suara atau siaran yang diketahui bahwa perangkat informasi manajemen hak Pencipta telah ditiadakan, dirusak, atau diubah tanpa izin pemegang hak.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 26

Ayat (1)

Pembelian hasil Ciptaan tidak berarti bahwa status Hak Ciptanya berpindah kepada pembeli, akan tetapi Hak Cipta atas suatu Ciptaan tersebut tetap ada di tangan Penciptanya. Misalnya, pembelian buku, kaset, dan lukisan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 27

Yang dimaksud dengan sarana kontrol teknologi adaiah instrumen teknoiogi dalam bentuk antara lain kode rahasia, password, bur code, serial number, teknologi dekripsi (decryption} dan enkripsi (encryption) yang digunakan unnik melindungi Ciptaan.

Semua tindakan yang dianggap pelanggaran hukum meliputi : memproduksi atau mengimpor atau menyewakan peralatan apa pun yang dirancang khusus untuk meniadakan sarana kontrol teknologi atau untuk mencegah, membatasi Perbanyakan dari suatu Ciptaan.

Pasal 28

Ayat (l)

Yang dimaksud dengan ketentuan persyaratan sarana produksi berteknologi tinggi, misalnya, izin lokasi produksi, kewajiban membuat pembukuan produksi, membubuhkan tanda pengenal produsen pada produknya, pajak atau cukai serta memenuhi syarat inspeksi oleh pihak yang berwenang.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 29

Cukup jelas

Pasal 30

Cukup jelas

Pasal 31

Cukup jelas

Pasal 32

Cukup jelas

Pasal 33

Cukup jelas

Pasal 34

Ketentuan ini menegaskan bahwa tanggal 1 Januari sebagai dasar perhitungan jangka waktu perlindungan Hak Cipta, dimaksudkan semata-mata untuk memudahkan perhitungan berakhirnya jangka perlindungan. Titik tolaknya adalah tanggal 1 Januari tahun berikutnya setelah Ciptaan tersebut diumumkan, diketahui oleh umum, diterbitkan atau Penciptanya meninggal dunia. Cara perhitungan seperti itu tetap tidak mengurangi prinsip perhitungan jangka waktu perlindungan yang didasarkan pada saat dihasilkannya suatu Ciptaan apabila tanggal tersebut diketahui secara jelas.

Pasal 35

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)

Pendaftaran Ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta, dan timbulnya perlindungan suatu Ciptaan dimulai sejak Ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pendaftaran. Hal ini berarti suatu Ciptaan baik yang terdaftar maupun tidak terdaftar tetap dilindungi.

Pasal 36

Direktorat Jenderal yang menyelenggarakan pendaftaran Ciptaan tidak bertanggung jawab atas isi, arti, maksud, atau bentuk dari Ciptaan yang terdaftar.

Pasal 37

Ayat (1)

yang dimaksud dengan Kuasa adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektuai yaitu orang yang memiliki keahlian di bidang Hak Kekayaan Intelektual dan secara khusus memberikan jasa mengurus permohonan Hak Cipta, Paten, Merek, Desain Industri serta bidang-bidang Hak Kekayaan Intelektual lain dan terdaftar sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intdektual di Direktorat Jenderal.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan pengganti Ciptaan adalah contoh Ciptaan yang dilampirkan karena Ciptaan itu sendiri secara teknis tidak mungkin untuk dilampirkan dalam Permohonan, misalnya, patung yang berukuran besar diganti dengan miniatur atau fotonya.

Ayat (3)

Jangka waktu proses permohonan dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada Pemohon.

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 38

Cukup jelas

Pasal 39

Cukup jelas

Pasal 40

Cukup jelas

Pasal 41

Cukup jelas

Pasal 42

Cukup jelas

Pasal 43

Cukup jelas

Pasal 44

Cukup jelas

Pasal 45

Cukup jelas

Pasal 46

Cukup jelas

Pasal 47

Cukup jelas

Pasal 48

Cukup jelas

Pasal 49

Ayat (l)

Yang dimaksud dengan menyiarkan termasuk menyewakan, melakukan pertunjukan umum (public performance), mengomunikasikan pertunjukan langsung (life performance), dan mengkomunikasikan secara interaktif suatu karya rekaman Pelaku.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 50

Cukup jelas

Pasal 51

Cukup jelas

Pasal 52

Cukup jelas

Pasal 53

Cukup jelas

Pasal 54

Cukup jelas

Pasal 54

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan menggunakan penerimaan adalah penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai dengan sistem dan mekanisme yang berlaku. Dalam hal ini seluruh penerimaan disetorkan langsung ke kas negara sebagai PNBP. Kemudian, Direktorat Jenderal melalui Menteri mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan untuk menggunakan sebagian PNBP sesuai dengan keperluan yang dibenarkan oleh Undang-undang, yang saat ini diatur dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687).

Pasal 55

Cukup jelas

Pasal 56

Cukup jelas

Pasal 57

Cukup jelas

Pasal 58

Cukup jelas

Pasal 59

Cukup jelas

Pasal 60

Ayat(1)

Yang dimaksud dengan Ketua Pengadilan Niaga adalah Ketua Pengadilan Negeri/Pengadilan Niaga.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 61

Cukup jelas

Pasal 62

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)

Kecuali dinyatakan lain, yang dimaksud dengan "panitera'" pada ayat ini adalah panitera Pengadilan Negeri/Pengadilan Niaga.

Pasal 63

Cukup jelas

Pasal 64

Cukup jelas

Pasal 65

Yang dimaksud dengan alternatif penyelesaian sengketa adalah negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan cara lain yang dipilih oleh para pihak sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.

Pasal 66

Cukup jelas

Pasal 67

Huruf a

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, sehingga hakim Pengadilan Niaga diberi kewenangan untuk menerbitkan penetapan sementara guna mencegah berlanjutnya pelanggaran dan masuknya barang yang diduga melanggar Hak Cipta dan Hak Terkait ke jalur perdagangan termasuk tindakan importasi.

Huruf b

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penghilangan barang bukti oleh pihak pelanggar.

Huruf c
Cukup jelas

Pasal 68

Cukup jelas

Pasal 68

Cukup jelas

Pasal 70

Cukup jelas

Pasal 71

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu adalah pegawai yang diangkat sebagai penyidik berdasarkan Keputusan Menteri.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 72

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan memperbanyak penggunaan adalah menggandakan, atau menyalin Program Komputer dalam bentuk kode sumber (source code) atau program aplikasinya.

Yang dimaksud dengan kode sumber adalah sebuah arsip (file) program yang berisi pernyataan-pernyataan (statements) pemrograman, kode-kode instruks/perintah, fungsi, prosedur dan objek yang dibuat oleh seorang pemprogram (programmer).

Misalnya: A membeli Program Komputer dengan hak Lisensi untuk digunakan pada satu unit komputer, atau B mengadakan perjanjian Lisensi untuk pengunaan aplikasi Program Komputer pada 10 (sepuluh) unit komputer. Apabila A atau B menggandakan atau menyalin aplikasi Program Komputer di atas untuk lebih dari yang telah ditentukan atau diperjanjikan, tindakan itu merupakan pelanggaran, kecuali untuk arsip.

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
ukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Ayat (8)
Cukup jelas

Ayat (9)
Cukup jelas

Pasal 73

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "bersifai unik" adalah bersifat lain daripada yang lain, tidak ada persamaan dengan yang lain, atau yang bersifat khusus.

Pasal 74

Cukup jelas

Pasal 75

Cukup jelas

Pasal 76

Cukup jelas

Pasal 77

Cukup jelas

Pasal 78

Diberlakukan 12 (dua belas) bulan sejak tanggal diundangkan dimaksudkan agar Undang-undang ini dapat disosialisasikan terutama kepada pihak-pihak yang terkait dengan Hak Cipta, misalnya, perguruan tinggi, asosiasi-asosiasi di bidang Hak Cipta, dan lain-lain.

DRAMATURGI Penulisan Skenario Film

A. Perkembangan sastra & teater barat


1. Yunani Kuno


Poetik (Aristotles)


- sumber awal dramaturgi

- analisa atas seni mengarang/komposisi atas epik, tragedi, komedi, dithrambic pada karya puisi/teater yunani


2. Abad Pertengahan


3. Renaisansce:


- Moliere


- Shakespeare


- Teater Victorian




B. Teori Sastra (dengan tokoh yang dekat dengan teori Strukturalis)


1. Vladimir Propp:


- analisa folktale


- 8 kelompok karakter (the villain, the hero, the donor, the helper, the princess, her father, the dispatcher, the false hero)


- 31 fungsi (sequence)


2. Tzuetan Todorov:


- cerita mulai dari equilibrium/ balance-disrupsi dari beberapa peristiwa- equilibrium kedua berbeda




3. Roland Barthes:


Naratif bekerja lewat 5 kode


4. Claude Levi-strauss:


- semua struktur termasuk naratif bekerja melalui oposisi biner



Dramaturgi


berhubungan dengan komposisi terhadap elemen drama (bukan teknis, tapi art atau seni).

Berasal dari bahasa Yunani yang artinya action atau aksi. Drama menurut Aristotle berarti “imitasi dan representasi dari sebuah tindakan manusia”.


Hal ini berasal dari di tradisi Yunani Kuno berisi karakter dengan segala permasalahannya. Umumnya cara teater dipertunjukkan yang mendapat tingkatan paling tinggi adalah TRAGEDI Yunani

Di dalam Tragedi Yunani terdapat konsep Deus ex Machina (Tuhan sebagai Mesin)Dimana berusaha meninggalkan intervensi Tuhan terhadap dunia. Hercules “manusia menentukan takdirnya sendiri”

Karena kalau tuhan ada, maka yang terjadi dalam cerita adalah semua mungkin atau terjadi banyak keajaiban (miracles).


Sebagai dampaknya, cerita di bangun oleh prinsip kausalitas.


1. Menceritakan sebuah kisah

2. Sebuah bentuk dari cerita

3. Asal usul drama

4. Persoalan aturan

5. Prinsip dasar

6. Model Sintetik/ aplikasi hasil analisa dan praktik



Problem utama skenario


Karena berasal dari drama, banyak istilah yang tumpang tindih.Cara menilai dramaturgi sebagai sebuah komposisi sulit dinilai karena dia adalah seni (ukurannya sulit Cara cerita masing-masing individu berbeda. Tidak bisa dipelajari secara templete.



Menonton dan membandingkan pendekatan film “Billa dan Sadja” by Alexander Mountana dan “Chocolate” by Nala Perkasa (Tuta). Last Year at Mamenbad (salah satu film dimana penonton menyebut tokoh dalam film terserbut dengan X, Y, Z karena dalam film nama mereka tidak disebutkan)




Elemen drama


dialog


- plot


- konflik


- setting


- karakter


- opening dan ending


Hal-hal di atas adalah struktur


Drama dalam tradisi Yunani berarti ritual (tindakan yang suci), kegiatan menyaksikan drama adalah untuk mensucikan diri karena dalam drama terdapat kisah.


Teater: Theastai (melihat)Menonton teater untuk menghasilkan khatarsis.Agar terwujud hal itu, maka dikondisikan agar penonton fokus, sehingga penonton berdidentifikasi sehingga inividu itu hilang ketika menyaksikan pertunjukan. Dramaturgi usaha penulis untuk menjadi manusia, Dalam cerita kita berkomunikasi Membagi pengalaman dan bercerita adalah penting bagi manusia (seperti oksigen). Aturan tidak pernah ada dalam dramaturgi yang ada adalah prinsip dasar menjadi manusia:



Konsekuensinya:


- mampu memahami dirinya sendiri (jadi setiap orang bisa bercerita)


- memiliki keterbatasan dan ketergantungan


- kehidupan: proses pergantian persistiwa yang melibatkan proses kausalitas (karena kalo nggak, cerita akan jadi nggak logis dan itu tidak bisa diterima manusia/ penonton)



Perkecualian :


- manusia itu unik (karena faktor genetik dan kultur)



Karena itu manusia pasti berbeda sekaligus sama.Dalam membuat cerita, penulis proses manusia mengingat/berefleksi pada dirinya atau orang lain.





DRAMATURGI

Dipresentasikan oleh Rizki Atina

SEJARAH


1945:Tahun dimana, Kenneth Duva Burke(May 5, 1897 – November 19, 1993) seorang teoritis literatur Amerika dan filosof memperkenalkan konsep dramatisme sebagai metode untuk memahami fungsi sosial dari bahasa dan drama sebagai pentas simbolik kata dan kehidupan sosial. Tujuan Dramatisme adalah memberikan penjelasan logis untuk memahami motif tindakan manusia, atau kenapa manusia melakukan apa yang mereka lakukan (Fox, 2002).Dramatisme memperlihatkan bahasa sebagai model tindakan simbolik ketimbang model pengetahuan (Burke, 1978). Pandangan Burke adalah bahwa hidup bukan seperti drama, tapi hidup itu sendiri adalah drama. 1959: The Presentation of Self in Everyday Life Tertarik dengan teori dramatisme Burke, Erving Goffman (11 Juni 1922 – 19 November 1982), seorang sosiolog interaksionis dan penulis, memperdalam kajian dramatisme tersebut dan menyempurnakannya dalam bukunya yang kemudian terkenal sebagai salah satu sumbangan terbesar bagi teori ilmu sosial The Presentation of Self in Everyday Life. Dalam buku ini Goffman yang mendalami fenomena interaksi simbolik mengemukakan kajian mendalam mengenai konsep Dramaturgi.

INI BUKAN DRAMATURGI ARISTOTELES


Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan fiksi diatas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan. Meski benar, dramaturgi juga digunakan dalam istilah teater namun term dan karakteristiknya berbeda dengan dramaturgi yang akan kita pelajari. Dramaturgi dari istilah teater dipopulerkan oleh Aristoteles. Sekitar tahun 350 SM, Aristoteles, seorang filosof asal Yunani, menelurkan, Poetics, hasil pemikirannya yang sampai sekarang masih dianggap sebagai buku acuan bagi dunia teater. Dalam Poetics, Aristoteles menjabarkan penelitiannya tentang penampilan/drama-drama berakhir tragedi/tragis ataupun kisah-kisah komedi. Untuk menghasilkan Poetics Aristoteles meneliti hampir seluruh karya penulis Yunani pada masanya. Kisah tragis merupakan obyek penelitian utamanya dan dalam Poetic juga Aristoteles menyanjung Kisah Oedipus Rex, sebagai kisah drama yang paling dapat diperhitungkan. Meskipun Aristoteles mengatakan bahwa drama merupakan bagian dari puisi, namun Aristoteles bekerja secara utuh menganalisa drama secara keseluruhan. Bukan hanya dari segi naskahnya saja tapi juga menganalisa hubungan antara karakter dan akting, dialog, plot dan cerita. Ia memberikan contoh-contoh plot yang baik dan meneliti reaksi drama terhadap penonton. Nilai-nilai yang dikemukakan oleh Aristoteles dalam maha karyanya ini kemudian dikenal dengan “aristotelian drama” atau drama ala aristoteles, dimana deus ex machina[1] adalah suatu kelemahan dan dimana sebuah akting harus tersusun secara efisien. Banyak konsep kunci drama, seperti anagnorisis[2] dan katharsis[3], dibahas dalam Poetica. Sampai sekarang “aristotelian drama” sangat terlihat aplikasinya pada tayangan-tayangan tv, buku-buku panduan perfilman dan bahkan kursus-kursus singkat perfilman (dramaturgi dasar) biasanya sangat bergantung kepada dasar pemikiran yang dikemukakan oleh Aristoteles.

DRAMATURGI: BENTUK LAIN DARI KOMUNIKASI


Bila Aristoteles mengungkapkan Dramaturgi dalam artian seni. Maka, Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Seperti yang kita ketahui, Goffman memperkenalkan dramaturgi pertama kali dalam kajian sosial psikologis dan sosiologi melalui bukunya, The Presentation of Self In Everyday Life. Buku tersebut menggali segala macam perilaku interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada pertunjukan yang ditampilkan. Bila Aristoteles mengacu kepada teater maka Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dari presentasi dari Diri – Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi. Kenapa komunikasi? Karena komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau. Perlu diingat, dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut. Bukti nyata bahwa terjadi permainan peran dalam kehidupan manusia dapat dilihat pada masyarakat kita sendiri. Manusia menciptakan sebuah mekanisme tersendiri, dimana dengan permainan peran tersebut ia bisa tampil sebagai sosok-sosok tertentu. Hal ini setara dengan yang dikatakan oleh Yenrizal (IAIN Raden Fatah, Palembang), dalam makalahnya “Transformasi Etos Kerja Masyarakat Muslim: Tinjauan Dramaturgis di Masyarakat Pedesaan Sumatera Selatan” pada Annual Conference on Islamic Studies, Bandung, 26 – 30 November 2006: “Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang sosial masyarakat itu sendiri. Terbentuklah kemudian masyarakat yang mampu beradaptasi dengan berbagai suasana dan corak kehidupan. Masyarakat yang tinggal dalam komunitas heterogen perkotaan, menciptakan panggung-panggung sendiri yang membuatnya bisa tampil sebagai komunitas yang bisa bertahan hidup dengan keheterogenannya. Begitu juga dengan masyarakat homogen pedesaan, menciptakan panggung-panggung sendiri melalui interaksinya, yang terkadang justru membentuk proteksi sendiri dengan komunitas lainnya.”

DRAMATURGIS : KITA SEBENARNYA HIDUP DI ATAS PANGGUNG


Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”. Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (“front stage”) dan di belakang panggung (“back stage”) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil (lihat unsur-unsur tersebut pada impression management diatas). Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan. Contohnya, seorang front liner hotel senantiasa berpakaian rapi menyambut tamu hotel dengan ramah, santun, bersikap formil dan perkataan yang diatur. Tetapi, saat istirahat siang, sang front liner bisa bersikap lebih santai, bersenda gurau dengan bahasa gaul dengan temannya atau bersikap tidak formil lainnya (merokok, dsb). Saat front liner menyambut tamu hotel, merupakan saat front stage baginya (saat pertunjukan). Tanggung jawabnya adalah menyambut tamu hotel dan memberikan kesan baik hotel kepada tamu tersebut. Oleh karenanya, perilaku sang front liner juga adalah perilaku yang sudah digariskan skenarionya oleh pihak manajemen hotel. Saat istirahat makan siang, front liner bebas untuk mempersiapkan dirinya menuju babak ke dua dari pertunjukan tersebut. Karenanya, skenario yang disiapkan oleh manajemen hotel adalah bagaimana sang front liner tersebut dapat refresh untuk menjalankan perannya di babak selanjutnya. Sebelum berinteraksi dengan orang lain, seseorang pasti akan mempersiapkan perannya dulu, atau kesan yang ingin ditangkap oleh orang lain. Kondisi ini sama dengan apa yang dunia teater katakan sebagai “breaking character”. Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang sosial masyarakat itu sendiri. Terbentuklah kemudian masyarakat yang mampu beradaptasi dengan berbagai suasana dan corak kehidupan. Masyarakat yang tinggal dalam komunitas heterogen perkotaan, menciptakan panggung-panggung sendiri yang membuatnya bisa tampil sebagai komunitas yang bisa bertahan hidup dengan keheterogenannya. Begitu juga dengan masyarakat homogen pedesaan, menciptakan panggung-panggung sendiri melalui interaksinya, yang terkadang justru membentuk proteksi sendiri dengan komunitas lainnya. Apa yang dilakukan masyarakat melalui konsep permainan peran adalah realitas yang terjadi secara alamiah dan berkembang sesuai perubahan yang berlangsung dalam diri mereka. Permainan peran ini akan berubah-rubah sesuai kondisi dan waktu berlangsungnya. Banyak pula faktor yang berpengaruh dalam permainan peran ini, terutama aspek sosial psikologis yang melingkupinya.

KRITIK TERHADAP DRAMATURGI


Dramarturgi hanya dapat berlaku di institusi total


Institusi total maksudnya adalah institusi yang memiliki karakter dihambakan oleh sebagian kehidupan atau keseluruhan kehidupan dari individual yang terkait dengan institusi tersebut, dimana individu ini berlaku sebagai sub-ordinat yang mana sangat tergantung kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya. Ciri-ciri institusi total antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki hierarki yang jelas. Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut paham pengajaran kuno (disiplin tinggi), kamp konsentrasi (barak militer), institusi pendidikan, penjara, pusat rehabilitasi (termasuk didalamnya rumah sakit jiwa, biara, institusi pemerintah, dan lainnya. Dramaturgi dianggap dapat berperan baik pada instansi-instansi yang menuntut pengabdian tinggi dan tidak menghendaki adanya “pemberontakan”. Karena di dalam institusi-institusi ini peran-peran sosial akan lebih mudah untuk diidentifikasi. Orang akan lebih memahami skenario semacam apa yang ingin dimainkan. Bahkan beberapa ahli percaya bahwa teori ini harus dibuktikan dahulu sebelum diaplikasikan.


Menihilkan “kemasyarakatan”


Teori ini juga dianggap tidak mendukung pemahaman bahwa dalam tujuan sosiologi ada satu kata yang seharusnya diperhitungkan, yakni kekuatan “kemasyarakatan”. Bahwa tuntutan peran individual menimbulkan clash bila berhadapan dengan peran kemasyarakatan. Ini yang sebaiknya dapat disinkronkan.


Dianggap condong kepada Positifisme


Dramaturgi dianggap terlalu condong kepada positifisme[4]. Penganut paham ini menyatakan adanya kesamaan antara ilmu sosial dan ilmu alam, yakni aturan. Aturan adalah pakem yang mengatur dunia sehingga tindakan nyeleneh atau tidak dapat dijelaskan secara logis merupakan hal yang tidak patut.

ANALISA DRAMATURGI


Dramaturgis masuk dalam Perspektif Obyektif


Dramaturgis dianggap masuk ke dalam perspektif obyektif karena teori ini cenderung melihat manusia sebagai makhluk pasif (berserah). Meskipun, pada awal ingin memasuki peran tertentu manusia memiliki kemampuan untuk menjadi subyektif (kemampuan untuk memilih) namun pada saat menjalankan peran tersebut manusia berlaku objektif, berlaku natural, mengikuti alur. Misalnya, pada kasus Kekerasan pada Rumah Tangga (“KDRT”), saat perilaku kekerasan itu hendak terjadi, korban sebenarnya memiliki pilihan, berserah diri atau melakukan perlawanan. Bila ia memberontak maka konsekuensinya adalah ini dan bila ia pasrah maka akibatnya seperti itu. Proses subyektif ini akan beralih menjadi obyektif saat ia menjalani peran yang dipilihnya tersebut. Misalnya yang ia ambil adalah pasrah karena ia takut kalau ia melarikan diri konsekuensinya lebih parah, atau ia merasa terlalu tergantung kepada tersangka dan mengkhawatirkan nasih anaknya bila ia melawan. Maka, setelah itu ia akan menjalani perannya sebagai korban. Secara naluriah ia akan menutupi bagian tubuhnya yang mungkin menjadi sasaran kekerasan. Atau ia berusaha untuk menutupi telinganya untuk melindungi mental dan psikologisnya. Itulah mengapa dramaturgi di sebut memiliki muatan objektif. Karena pelakunya, menjalankan perannya secara natural, alamiah mengetahui langkah-langkah yang harus dijalani.


Pendekatan Keilmuan Little John - Pendekatan Scientific (ilmiah - empiris)


Seperti telah dijabarkan diatas, Dramaturgis merupakan teori yang mempelajari proses dari perilaku dan bukan hasil dari perilaku. Ini merupakan asas dasar dari penelitian-penelitian yang menggunakan pendekatan scientific[5]. Obyektifitas yang digunakan disini adalah karena institusi tempat dramaturgi berperan adalah memang institusi yang terukur dan membutuhkan peran-peran yang sesuai dengan semangat institusi tersebut. Institusi ini kemudian yang diklaim sebagai institusi total sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya. Bahwa hasil dari peranan itu sesungguhnya, bila proses (rumusnya) dijalankan sesuai dengan standar observasi dan konsistensi maka bentuk akhirnya adalah sama. Contohnya, bila seorang pengajar mempraktekkan cara mengajar sesuai dengan template perguruan tinggi maka kualitas keluaran perguruan tinggi tersebut akan menghasilkan kualitas yang bisa dikatakan relatif sama. Atau untuk contoh front liner hotel diatas, bila front liner dapat memainkan skenario penyambutan tamu manajemen hotel, niscaya tamu akan merasa dihargai, dihormati, senang dan bersedia untuk datang menginap kembali di hotel tersebut.


[1] Frase ini berasal dari bahasa Latin yang secara bahsa berarti Tuhan keluar membantu. Hal ini menunjuk pada karakter buatan, imajiner, alat ataupun peristiwa yang tiba-tiba saja terjadi atau ada dalam sebuah pertunjukan fiksi atau drama sebagai jalan keluar dari sebuah situasi atau plot yang sulit (contohnya, tiba-tiba ada ibu peri yang muncul untuk menolong Cinderella supaya bisa datang ke pesta dansa di istana).


[2] Aristoteles mengartikan kata ini sebagai “perubahan perilaku dari acuh menjadi butuh karena perkembangan cerita (mengetahui yang sesungguhnnya), tumbuhnya rasa cinta atau benci yang timbul antar karakter yang ditakdirkan oleh alur cerita”. Contohnya, pangeran dalam cerita Cinderella sebelum tidak peduli pada gadis-gadis yang memiliki sepatu kaca, tapi begitu ia mengetahui bahwa gadis misteriusnya memakai sepatu kaca, maka ia mencari gadis-gadis yang muat dengan sepatu kacanya.


[3] Kata ini mengacu kepada sensasi, atau efek turut terbawanya alur cerita ke dalam hati. Perasaan ini seyogyanya muncul di hati para penonton seusai menonton drama yang mengena. (contohnya, turut menangis,tertawa, atau perasaan iba terhadap karakter drama).


[4] Positifisme dirunut dari asalnya berasal dari pemikiran Auguste Comte pada abad ke 19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains.

[5] Menurut pandangan ini ilmu diasosiasikan dengan objektivitas. Objektivitas yang dimaksudkan di sini adalah objektivitas yang menekankan prinsip standardisasu observasi dan kosistensi. Landasan philosofisnya adalah bahwa dunia ini pada dasarnya mempunyai bentuk dan struktur.


Genre Drama


Dua genre yang utama sejak masa Yunani adalah tragedi dan komedi. Disamping itu terdapat pula genre-genre melodrama, farce, tragikomedi, komedi gelap, sejarah, dokumenter, dan musikal yang sekarang keihatan menjadi genre utama dalam drama modern.1 Adapun pengertian dari genre-genre tersebut adalah:

a)Tragedi

Tragedi dikategorikan dalam drama serius dengan topik yang bermakna kemanusiaan universal sebagai temanya, yang mana tokoh utama atau tokoh melawan penderitaan, mundur dan selalu mati. Secara tradisional, tragedi melibatkan keruntuhan atau kehancuran tokoh yang statusnya tinggi. Tragedi menimbulkan rasa kasihan dan teror terhadap penonton, dan merespon pemecahan dalam apa yang dijelaskan Aristoteles tentang Catarsis, atau ”pembersihan jiwa”. (untuk teori tragedi, lebih lanjut lihat lampiran). Adapun contoh-contoh drama tragedi antara lain dalam drama Trilogi karya dramawan Yunani Sophocles, yakni Oidipus Sang Raja, Oidipus di Kolonus dan Antigone. Begitu pula lakon King Lear karya dramawan Inggris William Shakespeare.

b)Komedi

Komedi merupakan drama humor dengan sebuah tema penting, yang mana tokoh atau watak mempertentangkan diri mereka sendiri dan yang lain dengan akhir yang menimbulkan kelucuan. Komedi dapat menjadi kuat, bergairah, bernuansa remeh dan bergerak, tetapi organisasi pengalaman dramatiknya sama sekali menopang rasa kasihan atau teror dan mendatangkan tawa terbahak-bahak. (untuk teori komedi dan berbagai perbedaannya, lebih lanjut lihat lampiran).

Contoh drama komedi, diantaranya adalah Pinangan karya Anton Chekov.

c)Melodrama

Melodrama merupakan drama serius dengan tema yang sepele. Tokoh protagonis dalam bentuk populer yang menyenangkan dan menghibur ketimbang heroik, bajingan atau penjahat yang tidak kompromi dan sangat tidak menyenangkan. Melodrama menghadirkan pertentangan yang sederhana atau simple dan terbatas antara baik dan buruk ketimbang penggambaran maupun penjelasan yang lengkap terhadap penderitaan dan aspirasi kemanusiaan yang universal. Drama dalam genre ini jarang menopang akhir yang tidak menyenangkan, jarang berhubungan dengan katarsis, dan bertipe akhir dengan kekosongan pikiran, tetapi pertunjukannya suatu kemenangan yang menawan hati dari ”orang yang baik”.

d)Farce

Drama humor --dan ini lebih luas kehumorannya-- dalam tema yang sepele, biasanya seseorang yang sepenuhnya familiar terhadap penonton. Kekeliruan identitas, percintaan yang ditabukan atau cinta gelap, kesalahpahaman yang bertele-tele --ini merupakan cap yang berikan pada farce. Anak kembar satu telur, bercinta dalam WC atau di bawah meja, kejar mengejar di seantero panggung, tukar menukar minuman, tukar menukar pakaian (kadang-kadang laki-laki memakai pakaian wanita atau wanita berpakaian laki-laki), instruksi yang salah dengar, dan beragam adegan membuka pakaian, penemuan, bentuk yang dapat tahan lama secara kekal dan sejak zaman dulu kala.

e)Tragikomedi

Sebuah nama yang menunjukkan, bentuk yang mencoba untuk menjembatani tragedi dan komedi. Ini menegakkan tema serius secara keseluruhan tetapi bermacam-macam pendekatan dari serius hingga humor, dan dengan penyimpulan tanpa katarsis yang berat sekali yang mana penontonnya dibawa untuk menduga-duga. Ini juga dapat dikatakan “tragedi yang berakhir dengan kegembiraan”.


f)Komedi Gelap

Sama dalam tema dan pendekatan terhadap tragikomedi, tetapi dengan akibat pada bagian depan: “Komedi yang berakhir secara tragis”, yang kadang-kadang pengertian yang sangat tepat dari usaha yang sangat modern untuk menggabungkan komedi dan tragedi.

g)Historis

Lebih jauh dilatarbelakangi oleh William Shakespeare, meskipun sedikit drama yang tepat berkategori ini yang ditulis sebelumnya. Drama dalam genre ini menyuguhkan peristiwa sejarah dengan cara yang sangat serius dan terhormat. Drama sejarah Shakespeare terutama dipusatkan pada sejarah Inggris (kira-kira) tahun 1377 hingga 1547, dan secara khusus dengan kehidupan dan perjuangan raja-raja Inggris seperti Richard II, Henry IV, Henry V, Henry VI, Richard III, dan Henry VIII. Drama serius ini didasarkan pada banyak seluk beluk humor, tetapi tidak mencapai katarsis tragedi klasik atau mengesampingkan humor komedi.

(h) Dokumenter

Merupakan sebuah genre yang masih dalam pengembang-an, yang mana banyak penemuan otentik yang secara relatif digunakan sebagai dasar untuk menggambarkan peristiwa sejarah yang baru saja terjadi. Catatan pemeriksaan pengadilan, laporan berita dan gambar, rekaman orang-orang dan pegawai yang di susun sebagai dokumentasi yang membawa kehidupan suatu persoalan khusus dan sudut pandang. Pemeriksaan pengadilan yang terkenal --yakni J. Robert Oppenheimer, John C. Scopes, Adolph Eichmann, gang ”Zoot Suit”, Leopold dan Loeb, skandal Watergate maupun skandal sex Bill Clinton-Lewinsky, skandal Bank Bali, Johny Indo, Marsinah, sebagai contoh-- merupakan sumber material untuk dramatisasi dokumenter.

(i) Musikal

Genre yang dibagi oleh kepercayaan yang luas dalam musik, khususnya dalam nyanyian. Musikal biasanya digabungkan dengan genre lain untuk menciptakan komedi musikal (yakni, komedi dengan nyanyian, semacam Guys and Dolls), dokumentasi musikal (semacam Oh, What A Lovely War!, yang diinspirasikan oleh kejadian Perang Dunia I), atau sejarah musikal. Sebuah latar tragedi untuk disebut opera besar; farce musikal secara umum di sebut opera terang atau operatta.


DRAMATURGI

Ilmu yang Mempelajari Hukum-hukum Drama


Unsur Dramaturgi

Tema: Inti atau pokok dalam suatu drama atau lakon

Alur/Plot: Kerangka penceritaan yang mengubah jalannya cerita

Karakter/Penokohan: Watak suatu tokoh cerita

Latar/Setting: Tempat terjadinya peristiwa

Pada saat sekarang ini timbul keraguan, apakah dramaturgi masih penting dalam dunia seni pertunjukan, khususnya dalam memahami dunia drama. Pertanyaan ini muncul seiring dengan lahirnya kreativitas-kreativitas atau temuan-temuan baru manusia, yang menunjukkan betapa dramaturgi itu harus dipandang dengan cara yang lain. Cara lain tersebut adalah menempatkan dramaturgi itu sejalan dengan perkembangan kreativitas manusia, dan berangkat dari perkembangan yang tumbuh dalam semua kesenian, khususnya dalam seni pertunjukan. Hal ini penting artinya, karena dramaturgi sebagai sebuah disiplin ilmu harus mampu menjawab berbagai persoalan yang muncul bersamaan dengan perubahan paradigma yang terjadi, dan agar dramaturgi benar-benar menjadi disiplin yang multidisipliner.

Pada dekade sembilan puluhan, dramaturgi di Indonesia mulai mendapatkan perhatian khusus. Hal ini berangkat dari situasi perkembangan dunia pendidikan seni yang semakin meningkat. Untuk itu dibutuhkan seorang ahli dalam seni pertunjukan yang kemudian disebut “Dramaturg”, guna membandingkannya dengan ahli seni rupa yang menyeleksi karya-karya terbaik dalam seni rupa, yakni seorang “kurator”.

Dramaturg profesional pertama menurut Kenneth Macgowan dan William Melnitz adalah dramawan dan kritikus drama Jerman, Gotthold Ephraim Lessing. Lessing menulis 104 karya kritik yang dikemudian dikumpulkan dalam sebuah buku, Die Hamburgische Dramaturgie2. Peran seorang dramaturg professional ini sangat penting artinya dalam melakukan berbagai telaah serta menemukan kaidah yang dimiliki oleh sebuah karya seni pertunjukan, dan bukan semata-mata karya drama.

Selain di Indonesia, di beberapa negara Eropa dan Amerika, keberadaan dramaturgi ini juga mendapatkan perhatian khusus. Bahkan, terdapat sebuah situs internet yang memberikan informasi tentang perkembangan mutakhir dalam dramaturgi, yakni www.dramaturgy.net. Siapapun dapat mengakses situs ini untuk mendapatkan informasi, baik berupa buku, jurnal maupun dialog yang berkaitan dengan dramaturgi, termasuk pelayanan untuk mengadakan semacam pelatihan. Sumber-sumber dramaturgi yang tersebar luas itu, di Indonesia masih sangat terbatas penggunaannya. Sumber dalam bentuk buku berbahasa Indonesia dan ditulis pula oleh orang Indonesia, hanya dijumpai pada buku RMA Harymawan yang berjudul Dramaturgi. Beberapa buku yang lain tidak lebih dari sepuluh judul buku yang berbicara tentang dunia drama dan berbagai upaya mempersiapkan pertunjukan teater. Kesemuanya itu perlu direvisi kembali, karena beberapa bagian diantaranya sudah tidak berlaku lagi, atau telah mengalami pergeseran pemahaman yang signifikan.

Ketertarikan terhadap dramaturgi juga terjadi pada dunia ilmu sosial. Seorang sosiolog Amerika, Erving Goffman misalnya, melahirkan pendekatan dramaturgis untuk melakukan penelitian sosial. Pengaruhnya sangat besar, termasuk dalam penelitian dengan pendekatan interaksionis simbolik.3 Disiplin ilmu yang mulai memanfaatkan jasa dramaturgi adalah ilmu komunikasi, psikologi, maupun seni pertunjukan. Sedangkan, dalam politik pun sering kita temui istilah dramatisasi persoalan, dramatisasi konflik, dramatisasi politik, dan sebagainya. Para pengguna dramaturgi pun tidak surut dan habis begitu saja seiring dengan berkembangnya perfilman dan sinetron-sinteron yang memborbardir dunia rumah tangga kita.

Dramaturgi itu sendiri, sebagaimana ditulis oleh RMA Harymawan dalam bukunya Dramaturgi4 adalah ilmu yang mempelajari tentang hukum dan konvensi drama. Hukum-hukum drama tersebut mencakup Tema, Alur (plot), Karakter (penokohan), dan Latar (setting). Namun demikian, pemahaman dramaturgi itu tidak berhenti pada hukum-hukum dan konvensi yang telah menjadi klasik tersebut. Karena, perkembangan yang cukup besar dari dunia drama itu sendiri, maka tentu sejumlah hukum dan konvensi itu memiliki upaya pula untuk melakukan beberapa ”penyesuaian” yang selaras dengan kehidupan dan jalan pemikiran manusia. Meskipun perkembangan tersebut memiliki beberapa kritik, namun tetap memiliki kemungkinan dalam mengapresiasi kenyataan yang berubah di tengah-tengah masyarakat penggunanya. Kenyataan bahwa dunia drama itu telah berkembang berabad-abad tentulah tak dapat dipungkiri memiliki banyak “produk” yang dapat menjadi model atau bahan untuk dianalisa. Disamping itu, telah banyak pula lahir para dramawan maupun para penulis drama yang memiliki pengaruh besar terhadap perubahan zamannya. Di Indonesia kita mengenal Putu Wijaya, Arifin C. Noor, Iwan Simatupang, Wisran Hadi, Kirjomulyo, Akhudiat, dan masih banyak lagi.

Konsepsi Dramaturgi klasik Aristotelian yang diikuti kalangan neo-klasisisme, yakni kesatuan dramatik yang merupakan suatu cerita yang terjadi di satu tempat dan waktu yang tak lebih dari satu kali dua puluh empat jam, peristiwa-peristiwa dan adegan-adegan secara beruntun, diikat dengan ketat satu sama lain oleh hukum sebab akibat. Kalangan penganut Sturm und Drang atau Storm and Stress (secara harfiah berarti Topan dan Tekanan) melakukan perubahan mendasar. Pemberontakan ini berangkat dari Gefuh ist alles, yakni perasaan adalah segala-galanya, seperti diungkapkan oleh Wolfgang von Goethe pada masa mudanya. Dramawan-dramawan Sturm und Drang cenderung menggambarkan manusia sebagai makhluk yang tingkah lakunya ditentukan oleh semangat yang berkobar-kobar, emosi yang kuat, nafsu yang meluap dan menghanyutkan5 . Maka mudah ditemukan adegan-adegan yang luar biasa, resah, penuh kekerasan, hujatan pedang dan belati, darah dan racun. Itu pulalah sebabnya, gerakan ini kemudian melahirkan gagasan romantik dalam drama dan teater. Plot atau alur cerita bersifat episodik.


Ringkasan

1.Pengertian drama muncul sebagai bagian dari upaya untuk memahami kehidupan. Namun demikian, banyak pengertian-pengertian drama yang saling bertolakbelakang, sehingga terjadi kesimpangsiuran. Upaya yang cermat melalui pengklasifikasian terhadap karya drama tersebut, memungkinkan suatu pengertian yang komprehensif dapat ditemukan.

2.Drama dimengerti mulai dari konteks sebagai salah satu genre sastra hingga ke pertunjukan teater. Sebagai sebuah karya sastra, drama berkaitan erat dengan adanya media lain, seperti teater, radio maupun televisi dan film.

3.Dalam mengembangkan dramaturgi tersebut dibutuhkan pula para dramaturg professional untuk menelaah kaidah-kaidah seni pertunjukan.

4.Dalam play atau drama terdapat genre seperti tragedi, komedi, melodrama, farce, targikomedi, sejarah, dokumenter, dan musikal. Masing-masing genre memiliki kekhususan dalam bentuk dramatiknya.

5.Pemahaman dramaturgi sangat dibutuhkan oleh sutradara dan aktor dalam memasuki wilayah penonton.


Topik Diskusi

1.Sebutkanlah pengertian drama yang relatif lebih realistik pada masa sekarang ini.

2.Sebutkan perbedaan mendasar konsepsi Dramaturgi Aristotelian dan pemberontakan Dramaturgi Wolfgang von Goethe.

3.Sebutkanlah bagaimana cara kerja seorang dramaturg profesional, agar sebuah karya seni pertunjukan dapat mencapai sasarannya secara maksimal.

4.Apakah yang membedakan antara genre drama Tragedi dengan Melodrama, dan Komedi dengan farce, sebutkan contoh dari naskah drama yang mengindikasikan genre ini.

5.Bagaimanakah dramaturgi seharusnya dipahami dan dipergunakan.



Dialog!

Penulisan Skenario Lanjutan 2 (Ale)

DIALOG

GS1A, 15 Desember 2008


Menonton percakapan dalam adegan pembuka film Thelma and Louis

1. Tokoh meminta gula para rekannya

2. Tokoh dipanggil pelanggan

3. Tokoh mengantarkan pesanan

4. Tokoh mengantarkan pesanan dan mengomentari habit pelanggan lainnya


Dalam budaya yunani kuno (Aristoteles)

Dramaturgi dibangun berdasarkan plot (aksi) yang didalamnya terdapat aksi dengan meniru aksi dari kehidupan nyata. Yang penting showing, baru kemudian telling. Dalam film, dianggap penting tapi tanpa dialog storytelling bisa jalan. Hal ini terjadi pada film bisu.


Film yang menaruh dialog pada posisi yang tidak terlalu penting:

Juha (Aki Karusmaki)

Humanity (Bruno Dunont)


Film dimana terdapat kontrakdiktif antara dialog dan cara mengucapkan dialog

Usual Suspect


Sehingga ketika membuat dialog, harus jelas dulu tujuan scenenya.



Karakteristik Speech

- Monolog : fungsi story telling mengkarakterisasi karakter

- Narasi : fungsi story telling berhubungan dengan POV

- monolog interior : fungsi storytelling mengkarakterisasi karakter

- off screen sound (monolog interior dan narasi)

- DIALOG: Pembicaraan antar karakter (kadang tidak punya tujuan storytelling, cuma sekedar chitchat)


Fungsi Dialog

- karakterisasi siapa yang berbicara

- ilustrasi hubungan antara siapa yang berbicara dengan karakter lainnya (termasuk pilihan kata ketika berinteraksi dengan orang lain).

- informasi tentang hasrat, pikiran, dll

- memperkaya aksi


Teknik dialog

- jelas point dari dialog yang disampaikan

- nyaan untuk aktor

- terkesan hidup (realis)


Dialog dan gambar :

- film bisu

- gambar dan dialog dalam film bersuara. Ketika dunia tanpa dialog sehingga terlihat seperti dunia yang absurd. Biasanya film-film atau genre-genre yang tidak lazim.



Prinsip-prinsip dialog

- dialog sebagai pembicaraan (terdapat dua karakter atau lebih)

- dialek, aksen, intonasi, diksi (sangat fonetik yang mengarahkan pitch, loudness, timbre). Tidak hanya apa yang dikatakan tetapi bagaimana cara mengatakannya.

- bahasa tubuh dan karakter (karena dialog menempel padanya)


Posted by Skrip at 16:53:01 | Permanent Link | Comments (0) |

Wednesday | December 10, 2008

Point of View (POV)

Penulisan Skenario Lanjutan 2 (Ale)

Point of View

GS2A, 10 Desember 2008


Definisi

A. Secara umum: perspektif, cara pandang, world view, idiologi

B. Kamera : kamera mewakili siapa? Siapa yang melihat? Dari karakter siapa cerita dilihat melalui kamera? Karakter tertentu atau narator? Karakter POV biasa disebut subyektif POV, filmmaker (narator) POV biasa disebut obyektif filmmaker

C. Secara Naratif : darimana cerita berasal? Siapa yang bercerita? Hal ini berlaku pada shot, scene, sequence, atau film.


Dalam film, ada 5 jalur informasi:

A. Gambar

B. (Written) Teks

C. Speech, Monolog, dialog

D. Musik

E. Noise/Efek

Atau bisa juga disebut audio-visual


Jenis POV

1. POV umum

a. First Person POV, menggunakan kata ganti “Saya”. Semua diri orang pasti punya sudut pandang terhadap kejadian

Karakteristik:

(+) subyektif, penulis berkuasan penuh atau mempunyai kebebasan menuturkan cerita seberapa luas dan dalam informasi mengenai karakter disampaikan ke penonton.

(-) karakter tidak boleh terlihat mukanya. Cara memperlihatkan wajah dengan menggunakan cermin atau air.

Contoh film yang konsisten menerapkan first person POV adalah “Lady in the Lake”. Sepanjang film tidak diperlihatkan wajah karakter kecuali ketika dia bercermin.

Macam-macam first person POV:

First person POV singular (hanya ada satu karakter)

First person POV multiple (ada beberapa karakter yang jadi first person POV)

First person reability: bagaimana penulis membuat bingung penonton dengan memberikan kondisi ketidakkonsistenan atau kegilaan, atau antara karakterisasi dan dialog bertolak belakang


b. Third Person POV, menggunakan kata ganti “dia”. Kita mengamati peristiwa sebagai observer. Karakter terlihat secara utuh.


Macam-macam Third person POV:

- singular

- multiple

- limited third person POV

- unlimited/ omniscient third person POV, narator


2. POV yang tidak umum: untuk membuat ambiguitas dengan bagaimana cerita dituturkan/dilihat.

a. Second person POV, menggunakan kata ganti “you”. Peleburan antara first person dan third person. Karakter melakukan interaksi dengan penonton.

b. Stream of Consciousness, berhubungan alam bawah sadar, yaitu pikiran dan memori karakter. Kesannya POV orang ketiga tapi bisa juga seperti POV karakter utama.

c. Shifting POVs, POV berubah di tengah jalan.

d. Virtual POV, POV memang dibuat kabur menganai POV siapa, lebih tricky.


POV dan skenario.

1. First person POV

Deskripsi skenario yang dengan menggunakan mata kamera sebagai mata karakter.


2. Third person POV

Deskripsi skenario yang umumnya ada.


3. Second person POV

Di POV tidak umumkan dimungkinkan adanya penjelasan teknis. Seperti:

Ale membuka pintu.


ALE

(direct adress)

Selamat pagi!



Tugas keempat tentang POV

1. POV siapa dan apa saja yang ada di skenario 20 halaman yang mau dibuat (tugas ini tidak lebih dari satu halaman).



Posted by Skrip at 12:10:50 | Permanent Link | Comments (0) |

Wednesday | December 03, 2008

Agenda Kuliah Skenario lanjutan 2

Agenda Perkuliahan Penulisan Skenario Lanjutan 2 (Ale)


10 Desember jam 10 pagi: kuliah membahas tentang P.O.V.

15 Desember : kuliah membahas tentang Dialog (semua tugas mesti sudah dikumpulkan)

22 dan 29 Desember : libur natal

5 januari : Kuliah membahas tentang Opening dan Ending + 4 Tugas mingguan (setting, karakter, Plot, POV)

12 januari: libur untuk menyiapkan skenario bahan UAS

jumat, 23 januari pukul 17.00 di ruang Ale: menyerahkan skenario 20-30 halaman (diprint).

26 januari: UAS Skenario Lanjutan 2 (lisan dan tulis, dengan materi tugas skenario)



Tugas 3:

Menentukan Plot dan Key events beradasarkan skenario yang akan mahasiswa buat untuk tugas akhir semester

1. Jenis Plot

2. Jenis Konflik

3. Key Events



Bentuk Skenario tugas akhir Semester


1. INT/EXT- RUANG- WAKTU (Heading Scene)


- Setting

- Karakter

- Aksi


Kalo ada istilah yang sulit di indonesiakan secara umum, gunakan cetak miring dan kasi bintang + foodnote


Menggunakan Struktur Hollywood Klasik

1. Protagonis mempunyai goal, need, desire

2. Obyektif

3. Kausalitas

4. Closure


Mahasiswa yang belum mengumpulkan tugasnya:

Akbar: setting, POV

Datu: plot, karakter, POV

Gatot : setting, POV

Gusad: plot, POV

Gunawan : setting, plot, POV

Aletra: karakter, POV

Nindi : plot, POV

Robby, plot, POV

Yoram: setting, karakter, plot, POV

Moses : setting, karakter, plot, POV,

Usha: POV

Vella: Plot, POV

Rendi : Plot, POV


Posted by Skrip at 16:01:42 | Permanent Link | Comments (0) |

Plot dan Struktur

Penulisan Skenario Lanjutan 2 (Ale)

Plot dan Struktur

GS1A, 1 Desember 2008


4 karya Dramatik (Unsur Fundamental):


1. konflik dan emosi

Konflik menjadi penting dalam dramaturgi karena dalam dramaturgi diperlukan konflik yang menari sebagai bentuk imitasi dari kehidupan manusia. Karena di dalam konflik terdapat gerak (dinamika). Ketika cerita “bergerak”, penonton akan tertarik karena di dalamnya terdapat EMOSI, ada kehidupan.


2. PROTAGONIS yang memiliki OBYEKTIF.

Obyektif yang dimaksud adalah tujuan atau pandangan hidup. Karena dia memiliki tujuan yang ingin di capai, maka diperlukan cara-cara untuk mencapai tujuan itu. Tokoh tidak mempunyai obyektif disebut sebagai tokoh statis. Tetapi status yang dimaksud berbeda dengan tokoh yang bersikap/memiliki pandangan hidup statis. Statis yang dimaksud terakhir adalah karakter yang sebenarnya memiliki target (obyektif) tetapi memilih bersikap statis. Biasanya terjadi pada karakter yang introfer. Obyektif ini bisa berupa eksplisit atau implisit. Bagaimana karakter bersikap dalam menghadapi masalah bisa mengarahkan penonton pada Obyektif.


3. hambatan


4. karakterisasi



Struktur


- kaidah 3 babak

- - plot point (krisis, klimaks)



Dramatik = protagonis + obyektif + hambatan + konflik + emosi



Kenapa three act struture menjadi struktur dominan? Karena paling mendekati kehidupan!

BABAK 1: (Sebelum {Obyektif) diperkenalkan}

BABAK 2 : (Usaha {obyektif) dijalankan}

BABAK 3 : (Sesudah {Obyektif) diselesaikan}


Dibabak 1, obyektif diketahui penonton (eksposisi) melalui setting, protagonis, obyektif, hambatan. Krisis adalah hilangnya kondisi keseimbangan (equilibrium). Orang sering menyebutnya sebagai transisi antara Act 1 ke Act 2. Dibabak 3, karena setelah obyektif diselesaikan tidak ada lagi masalah sehingga tidak ada point dramatik.


Plot Point: informasi/ perisitiwa yang membuat cerita bergerak dalam proses progonis mencapai obyektifnya. Di dalamnya terdapat krisis dan klimaks. KLIMAKS adalah usaha terakhir dari protagonis dalam mencapai obyektif. Karena klimaks usaha terakhir protagonis, sehingga mesti ada proses puncak berupa KEMATIAN protagonis.


bener dalam struk dramatik ada opening, midle, ending tapi kan nggak mesti ditampilkan berurutan” Orson Welles




Posted by Skrip at 15:51:09 | Permanent Link | Comments (0) |

Konflik dan Plot


Konflik dan Plot

Penulisan Skenario Lanjutan 2 (Ale)

GS1A, 24 November 2008



Kenapa hidup menarik?

Kenapa dramaturgi menarik?

Dramaturgi: imitasi realita/hidup

Asumsinya semua orang pasti punya tujuan yang ingin dicapai

Ketika orang yang punya tujuan, maka peluang terjadinya punya konflik pun muncul. Konfliklah kemudian yang membuat hidup/drama yang menjadi menarik. Konflik tidak hanya diterapkan dalam cerita tetapi juga elemen-elemen style seperti warna, komposisi, cahaya, gerak obyek, dan editing.

Oleh karena itu, konflik menjadi hal yang mutlak dalam dramaturgi

Mesti bisa punya alasan mengapa cerita menarik bagi penonton?


Dramatis : tendensinya tragis (sesuatu yang “memainkan” emosi)


Elemen dasar drama: KONFLIK


Arti kata konflik: durasi atau emosi yang memiliki petensi konflik


Manifestasi konflik

A. Fisik

B. Psikologis

C. Subtil/ konflik

D. Eksplisit


Konflik statis dan dinamis

Konflik statis pada saat karakter pasif (tidak ada usaha menghilangkan hambatan). Dia menjadi dinamis ketika karakter aktif.


Konflik dan dramatik:

- konflik sebagai jiwa dari kehidupan


- konflik sebagai faktor yang menarik penonton

ketika telah menentukan konfliknya (key event), maka bikin se-spektakuler mungkin. Spektakuler artinya terdapat penekanan terhadap konflik. Yang membuat penonton selalu ingat terhadap kejadian tersebut. Yang itu ditunjukkan dalam aksi.


Contoh film Assasination of Jesse James: gerakan jesse james yang penuh curiga terhadap orang yang akan membunuhnya menjadi satu konflik yang menarik.


- konflik sebagai faktor identifikasi

konflik menyebabkan proses identifikasi antara penonton dengan karakter di film. Yang penting kasi penonton TUJUAN yang menarik


- konflik sebagai alat untuk karakterisasi

wujudnya

a. situasi konflik

b. mengatasi hambatan

c. mencapai tujuan



Prinsip dasar drama, drama terjadi karena adanya

A. Protagonis/ karakter (tokoh yang memiliki tujuan)

B. tujuan/ objective

C. hambatan

D. Konflik

E. Emosi



Esensi konflik: apa yang bikin cerita menarik!


Konflik tidak ada hubungan dengan struktur (bukan berarti Struktur Hollywood Klasik menarik tetapi Art Sinema Narration otomatis membosankan).